×

Warning

JFolder: :files: Path is not a folder. Path: /home/pnposogo/public_html/pnposo/images/ig3
×

Notice

There was a problem rendering your image gallery. Please make sure that the folder you are using in the Simple Image Gallery plugin tags exists and contains valid image files. The plugin could not locate the folder:

tolok ukur keadilan Oleh Dr. Subiharta, S.H., M.Hum.

in Artikel
posted by: Super User
Hits: 807

Oleh Dr. Subiharta, S.H., M.Hum.
Hakim Tinggi PT Bandung
Majalah Dandapala Volume IX Edisi 52 ♦ Maret - April 2023
Dalam pergaulan hidup antar manusia dan antar subjek hukum tidak selamanya berjalan dengan baik dan lancar. Kadang muncul sengketa (conflict of interest), dimana penyelesaiannya tidak selalu memberikan kepuasan kepada kedua belah pihak. Oleh karena itu diperlukan lembaga lain untuk menyelesaikan termasuk di dalamnya oleh lembaga peradilan.

Konstitusi dan Undang-Undang memberi tugas dan wewenang kepada lembaga peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Untuk itu peradilan dituntut memberikan perlindungan berupa keadilan yang seadil-adilnya. Peradilan harus menjalankan fungsinya dengan baik berdasarkan prinsip bebas dan mandiri, imparsial, transparan, menjunjung tinggi kode etik profesi dan penegakan hukum yang berkeadilan dan berkepastian hukum serta memberikan manfaat.

Berbagai konflik yang terjadi disebabkan ketidakadilan yang diterima oleh masya- rakat. Mereka menuntut diperoleh- nya keadilan, maka di dalam negara terdapat lembaga yang dibentuk untuk melakukan penegakan hukum. Di samping itu dibentuk berbagai lembaga negara non penegak hukum yang bertujuan agar masalah yang timbul dalam masyarakat terlayani dan terpecahkan dan itu merupakan konsekuensi dari negara yang berdasar hukum (rechtstaat). Negara harus melindungi semua warga negara tanpa kecuali.

Penegakan hukum pidana (law enforce- ment) dari tingkat penyelidikan, penyi- dikan, penuntutan, pemeriksaaan oleh lembaga peradilan dan pengawasan dalam menjalani pidana ada dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu/SPPT (Integrated Criminal Justice System). SPPT dibentuk dengan tujuan agar penegakan hukum berhasil.

Penegakan hukum dapat dikatakan ber- hasil apabila kejahatan dapat dikendali- kan dalam arti angka kejahatan ada dalam batas toleransi (Romli Atmasasmita). Berhasil tidaknya penegakan hukum tidak lepas dari peranan penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum. Oleh karena itu penegakan hukum mesti dilakukan dengan benar dan adil, tidak ada benturan kepentingan, dijalankan dengan jujur serta adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia. SPPT di- jalankan dalam semangat bersama untuk melakukan pelayanan dalam bidang penegakan hukum sekaligus ada koordinasi dan manajemen penegakan hukum yang baik dan bermartabat sehingga tidak ada penyimpangan.

Muara dari penegakan hukum ada pada lembaga peradilan. Sebagian orang mengatakan bahwa “benteng terakhir dari keadilan ada pada lembaga peradilan.” Oleh karena itu semua aparatur peradilan dalam semua tingkatanmemberikan jaminan kepastian hukum, keadilan dan manfaat. Peningkatan pelayanan sebagai Hakim integritasnya harus arif, bijaksana, profesional, mandiri dan sebagainya. Pekerjaan hakim adalah pekerjaan yang sunyi karena terdapat banyak pergulatan batin dalam memberikan pertimbangan untuk menjatuhkan putusan yang adil. Tanggung jawab hakim kepada diri sendiri, masyarakat, bangsa, negara dan Tuhan YME. Oleh karena itu agar dapat memberikan keadilan yang seadil-adilnya maka diperlukan tolok ukur keadilan yang mesti dipedomani dan dijalankan oleh seorang hakim.

Tolok Ukur Keadilan
Tolok ukur adalah sesuatu yang dipakai sebagai dasar mengukur (menilai, dsb); patokan, standar (KBBI). Dengan demikian dapat ditarik batasan pengertian bahwa tolok ukur keadilan adalah keadilan yang ada ukurannya, ada standarnya. Sehingga keadilan harus ada dasarnya, yang difahami oleh manusia sesuai dengan pikiran hukum yang rasional (legal reasoning) sehingga diharapkan memberi kepuasan kepada berbagai fihak.

Hakim yang mengadili suatu kasus perlu mempunyai tolok ukur dalam menjatuhkan putusan agar memberikan keadilan. Tolok ukur ini diperlukan agar putusannya dapat dipertanggungjawabkan secara juridis, sosiologis dan filosofis. Di samping itu setiap putusan akan dinilai oleh para pihak yang berperkara maupun oleh hakim tingkat atasnya, bahkan tidak tertutup kemungkinan akan diperiksa pada tingkat peninjauan kembali. Di samping itu terhadap putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tidak jarang dilakukan eksaminasi oleh masyarakat baik dari kalangan praktisi maupun akademisi.

Di dalam filsafat hukum banyak aliran mengenai hukum dan keadilan. Selanjutnya teori-teori tersebut digunakan oleh sarjana di Indonesia dalam pengembangan ilmu baik dalam tataran teori maupun praktik.

Teori hukum alam berpandangan bahwa keadilan adalah apabila sesuai dengan hakikat hukum. Dengan demikian hakikat hukum adalah bahwa hukum sama dengan keadilan. Oleh karena itu setiap penegakan hukum adalah juga sebagai penegakan keadilan.

Tokoh aliran hukum alam, Thomas Aquinas berpandangan bahwa setiap orang secara moral hanya terikat untuk mentaati hukum yang adil, dan bukan kepada hukum yang tidak adil. Hukum yang tidak adil harus dipatuhi hanya apabila tuntutan keadaan yakni untuk menghindari skandal atau kekacauan.

Dalam mendiskusikan tentang keadilan maka akan selalu muncul pendapat yang saling berbeda bahkan saling bertentangan. Perbedaan itu terjadi karena sudut pandang yang berbeda. Demikian pula para tokoh tersebut hidup dalam zaman yang berbeda sehingga situasi dan kondisi masyarakat memberikan pengaruh pada pandangannya tersebut.

Hari Chand (1994) menyatakan “justice is a word that is higly ambiguous and pregnant many meaning... The meaning of justice is far from clear.” Ada yang berpendapat bahwa keadilan sebagai bintang pemandu (guidestar) tetapi ada juga yang berpendapat bahwa keadilan adalah ajang caci-makian (curse) (I Dewa Gede Atmadja, 2013:71).

Untuk menentukan tolok ukur keadilan tidaklah mudah, namun demikian hal itu tetap diperlukan karena hukum hidup dalam masyarakat yang terus berkembang. Hukum perlu diperdalam (verdeipt) oleh keadilan. Kalau hukum dilepaskan dari keadilan dan moral, maka kita mendekati chaos dan diktator, kekacauan, dan penindasan. Kita perlu melayani bangsa kita dengan hukum yang diperdalam oleh keadilan (O. Notohamidjojo,1975:34).

Ulpianus memberikan definisi keadilan sebagai kehendak untuk memberikan bagian kepada setiap orang haknya, sedangkan Justinianus menyatakan bahwa keadilan adalah kehendak yang ajeg untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya.

Di dalam studi filsafat hukum ada tiga cara mencari “tolok ukur” hukum yang adil, yakni melalui “pencermatan” tentang problem pengertian “keadilan”; mencermati pandangan para ahli filsafat hukum dalam teori “keadilan”; dan pertimbangan tentang “keadilan” dalam yurisprudensi.

Adapun untuk menentukan tolok ukur keadilan maka dapat dianalis beberapa hal di bawah ini:

  1. Iustitia Comulativa (Keadilan Komutatif). Tolok ukurnya adalah “prinsip prestasi-kontra prestasi” atau prinsip “equavalensi,” artinya jika seorang menerima barang yang dibeli senilai uang yang dibayarkannya dan begitu sebaliknya berlaku pada pembeli maka terwujud “keadilan komulatif.”
  2. Iustitia Distributiva (Keadilan Distributif). Tolok ukurnya prinsip “proporsionalitas.” Artinya bahwa seorang menduduki jabatan dan pangkat sesuai dengan kecakapan serta darma baktinya. Begitu pula bagian sebagai gaji atau penghasilan yang diterimanya sesuai dengan jabatan dan pangkatnya.
  3. Iustitia Vindicatica (Keadilan Vindikatif). Tolok ukurnya pada prinsip “tiada hukuman tanpa kesalahan” (niet straft zonder schuld). Artinya setiap orang dipidana atau harus membayar kerugian sesuai dengan berat ringan kesalahannya.
  4. Iustitia Creativa (Keadilan Kreatif). Tolok ukurnya perlindungan atas daya cipta sebagai ciri negara demokrasi. Artinya jika negara lalai melindungi HKI (Hak Kekayaan Intelektual), maka negara bertindak tidak adil dan lalai dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keadilan kreatif di negara-negara otokrasi atau diktator daya kreatifitas dibatasi oleh ideologi negara.
  5. Iustitia Protectiva (Keadilan Pro- tektif). Tolok ukurnya “hak asasi manusia,” tidak melanggar hak orang lain. Artinya manusia pribadi dan masyarakat harus bekerja sama membatasi kebebasan dan kesewenang-wenangan demi tercapainya kesejahteraan umum.
  6. Iustitia Legalis (Keadilan Hukum). Tolok ukurnya “wettelijk rechtsvardeigheid” (keabsahan Undang-Undang) atau asas legalitas. Artinya masyarakat berhak memiliki Undang-Undang yang baik, penguasa maupun masyarakat wajib mentaati Undang-Undang demi terciptanya kesejahteraan masyarakat.

Menurut penulis, tolok ukur keadilan yang masih perlu diberikan kepada para pencari keadilan (justiciabelen) adalah dalam proses penegakan hukum harus ditegakkan dengan hukum acara (hukum formil) yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Transparansi pene- gakan hukum dalam semua tingkatan mesti diberikan termasuk tidak ada- nya pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM), sehingga subjek hukum yang berhadapan dengan hukum dihormati harkat martabatnya.

Asas-asas peradilan juga mesti di- tegakkan oleh seorang hakim dalam mengadili perkara adalah bahwa dirinya diberi tugas dan wewenang oleh Undang-Undang untuk menyelesaikan kasus yang dihadapinya. Hakim tidak boleh mempunyai benturan kepentingan terhadap kasus tersebut. Dalam menangani kasus tidak boleh ada pikiran untuk simpati dan antipati serta apriori terhadap kasus dan pihak- pihak yang berperkara.

Bagir Manan mengemukakan bahwa hakim harus membatasi terhadap kasus yang ditangani. Dalam arti hakim harus membatasi dirinya dengan kasus tersebut sehingga ada batas antara hakim dengan perkaranya. Dengan adanya batas maka akan muncul kemandirian dan kebebasan dalam memutus perkara sehingga diharapkan putusannya benar dan memberikan keadilan.

Di samping itu hakim juga harus mandiri, tidak bergantung pada pihak lain. Kemandirian berkaitan dengan kemampuan untuk menyelesaikan kasus dengan kemampuan bertang- gung jawab atas profesinya. Karena hakim adalah jabatan yang terhormat (officium nobile) maka di samping putusannya adil juga mesti berkualitas.

A Theory of Justice adalah karya John Rawls mengenai filsafat dan etika politik pada tahun 1971. Rawls memberikan alternatif teori moral untuk utilitarianisme dan membahas masalah keadilan distributif (Wikipedia). Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau mengganggu rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah.

Menurut Aristoteles keadilan korektif berhubungan dengan membetulkan atau membenarkan sesuatu yang salah, memberikan kompensasi bagi pihak yang dirugikan atau memberikan hukuman bagi pelaku kejahatan.

Kembali kepada kualitas penegakan hukum dan keadilan bagi penegak hukum, maka kualitas pribadi ber- kaitan dengan kemampuan untuk memberikan keadilan.

Radbruch menyatakan bahwa keadilan memiliki beberapa arti, yaitu: a.) Keadilan dimaknai sebagai sifat atau kualitas pribadi. Keadilan subjektif sebagai keadilan sekunder adalah pendirian atau sikap, pandangan dan keyakinan yang diarahkan kepada terwujudnya keadilan sebagai keadilan yang primer. b.) Sumber keadilan berasal dari hukum positif dan cita hukum (rechtsidee). c.) Inti dari keadilan adalah kesamaan.

Dalam hal ini Radbruch mengikuti pandangan Aristoteles dan membagi keadilan menjadi keadilan distributif dan keadilan komulatif. Sesungguhnya pandangan Radbruch berkaitan dengan pandangan Hans Kelsen mengenai positivism (teori hukum murni). Terlepas dari kelebihan dan kelemahan teori hukum murni, menurut Hans Kelsen, hukum adalah norma-norma yang berisi kondisi dan konsekuensi dalam suatu tindakan. Konsekuensi pelanggaran hukum tersebut dapat berupa ancaman sanksi dari penguasa (saplaw.top.download.17..11.2022).

Penutup
Tolok ukur keadilan memegang peranan yang penting agar hakim mempunyai pegangan, pedoman atau standar dalam menyelesaikan kasus yang diperiksa dan diputus. Tolok ukur keadilan akan menuntun hakim untuk menemukan keadilan. Bahkan hakim juga akan mendapatkan petunjuk dan mempermudah dalam membuat pertimbangan dan menjatuhkan putusan yang adil.

Putusan hakim harus berkualitas karena akan diuji oleh para pihak yang berperkara (justiciabelen) maupun oleh masyarakat. Apabila perkara yang diputus diajukan upaya hukum biasa maupun luar biasa maka akan diuji oleh hakim di atasnya. Putusan yang adil, memberikan jaminan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Putusan berkualitas yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan menjadi yurisprudensi akan sangat bagus untuk nama baik dan reputasi lembaga peradilan.

Tolok ukur keadilan dapat dilihat dari apakah prosedur pemeriksaan sesuai dengan hukum acara (hukum formil) yang berlaku dan praktik peradilan yang bagus (best practice). Di samping itu penerapan hukum materiil harus tepat dan benar sehingga jaminan atas keadilan, kepastian dan manfaat juga akan dapat diberikan.

Agar hakim dalam menangani suatu perkara memberikan keadilan maka hakim juga mesti memiliki sifat-sifat baik, terutama aspek kualitas moral dan keilmuan yang tinggi, serta sanggup dan mampu melaksanakan pedoman dan perilaku etika hakim demi keluhuran dan martabat hakim Indonesia.

Pemahaman dan penggunaan tolok ukur dalam menjatuhkan putusan untuk memperoleh keadilan sebagai suatu keniscayaan yang harus selalu diperjuangkan dan diimplementasikan.

kegiatan 2023

in Artikel
posted by: Super User
Hits: 218

FOLLOW KAMI DI INSTAGRAM
{gallery}ig3{/gallery}
.

peraturan dan kebijakan

in Artikel
posted by: Super User
Hits: 323

Digantinya SEMA 10/2010 dengan Perma 1/2014 membawa perubahan yang cukup signifikan dalam sejumlah hal. Misalnya dalam hal mekanisme pemberian layanan pembebasan biaya perkara atau bisa disebut dengan perkara prodeo.

Mengacu kepada SEMA 10/2010, masyarakat yang ingin berperkara secara prodeo pertama-tama harus mendapatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari kepala desa, lurah, atau pejabat yang setingkat dengan itu. Masyarakat juga bisa membawa Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau sejenisnya sebagai bukti bahwa yang bersangkutan tidak mampu membayar biaya perkara.

Berikutnya, dokumen itu diajukan bersama-sama dengan pengajuan surat gugatan/permohonan di pengadilan saat mendaftarkan perkara. Setelah itu, majelis hakim yang menangani perkara tersebut membuat putusan sela untuk memutuskan apakah permohonan berperkara secara prodeo itu dikabulkan atau tidak.

Jika permohonan itu dikabulkan, maka proses berperkara secara prodeo dilanjutkan hingga perkara diputus. Namun jika permohonan itu tidak dikabulkan, maka penggugat/pemohon diperintahkan membayar panjar biaya perkara dalam jangka waktu 14 hari setelah dijatuhkannya putusan sela. Bila tidak dipenuhi, gugatan/permohonan tersebut akan dircoret dari daftar perkara.

Sementara itu, mengacu kepada Perma 1/2014, mekanisme pembebasan biaya perkara lebih sederhana. Masyarakat yang ingin berperkara secara cuma-cuma tetap diharuskan membawa SKTM atau Jamksesmas atau dokumen lain untuk membuktikan bahwa yang bersangkutan tidak mampu membayar biaya perkara, lalu mendaftarkan gugatan/permohonannya ke pengadilan. Tapi ia tidak harus terlebih dahulu mengikuti sidang dan menunggu putusan sela untuk mengetahui apakah permohonannya untuk mendapatkan pembebasan biaya perkara dikabulkan atau tidak.

Permohonan pembebasan biaya perkara itu diajukan kepada ketua pengadilan melalui kepaniteraan. Panitera/sekretaris lantas memeriksa kelayakan pembebasan biaya perkara dan ketersediaan anggaran. Hasil pemeriksaan panitera/sekretaris itu diserahkan kepada ketua pengadilan sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan apakah permohonan pembebasan biaya perkara itu dikabulkan atau ditolak. Jika permohonan itu dikabulkan, ketua pengadilan mengeluarkan Surat Penetapan Layanan Pembebasan Biaya Perkara. Namun jika permohonan itu ditolak, maka proses berperkara dilakukan seperti biasa.

lampiran

  1. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat tidak mampu di Pengadilan
  2. Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor : 52/DJU/SK/HK.006/5/ Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat tidak mampu di Pengadilan

artikel

in Artikel
posted by: Super User
Hits: 356

berahlak